Tujuan saya menulis artikel ini adalah sebagaimana saya mengenang bangsa Indonesia ini yang saya cintai, meski saya merupakan warga keturunan, namun saya merupakan anak bangsa Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Negara Indonesia.
Saya sangat berharap sekali kepada mereka-mereka yang nantinya membaca buku ini dapat mengambil hikmat dari buku ini. Semoga dari seluruh tulisan saya ini bisa bermanfaat dan berguna untuk membangun citrarasa bangsa Indonesia ini kembali seperti sediakala seperti Indonesia yang dahulu. Indonesia yang ramah tamah, Indonesia yang penduduknya selalu murah senyum dan berhati luhur kepada siapa saja. Indonesia yang cinta akan kedamaian saling tolong menolong dalam menyelesaikan segala permasalahan meski persoalan yang bertubi-tubi menhujam bangsa ini.
Seperti hal-nya saya hanya’lah manusia biasa. Apalagi hanya sebagai orang awam yang begitu iba melihat segala bencana dan kejadian yang menimpa bangsa ini bangsa yang kita sayangi.
Dimana bangsa yang pernah membuat kagum setiap turis yang berkunjung ke Indonesia. Dimana bangsa yang telah membesarkan kita. Tak satupun dari mereka (orang asing) berkomentar jelek tentang bangsa ini. Mereka sungguh mengagumi segala kebudayaan dan alam Indonesia yang asri serta penduduknya yang sangat baik dengan tutur kata dan berhati luhur. Murah senyum kepada setiap orang. Kemana perginya sifat orang Indonesia yang membanggakan itu, kemana hilangnya citrarasa keaslian penduduk Indonesia ini.
Indonesia negeri indah yang dilintasi garis khatulistiwa. Negeri dimana terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang membujur dari pulau Sabang hingga pulau Merauke. Mendengar membujur dari Sabang hingga Merauke, pastinya kita akan menyadari betapa luasnya Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Negera yang memiliki berjuta penduduk tersebar hingga pelosok Nusantara. Beraneka ragam kebudayaan, adat istiadat, suku bangsa, bahasa, dan agama. Namun tetap teguh kokoh meski tak berasal dari satu suku bangsa.
Keindahan panorama alam Indonesia yang asri mampu membuat berjuta-juta para turis berbondong-bondong datang ke Indonesia, yang hanya ingin menikmati keasrian alam Indonesia dan keramah tamahan penduduknya. Sungguh bukanlah sebuah dongeng dan isapan jempol cerita yang sering digunakan untuk menina bobo-kan anak kecil di waktu malam bahwa Indonesia adalah negara terindah akan alam dan kebudayaannya yang terkenal hingga ke mancanegara sampai saat ini.
Sebagai bagian dari bangsa ini sepatutnya bangga dan senang bahwa kita telah dilahirkan dan dibesarkan ditanah air tercinta ini. Mengapa kita harus malu mengakui bahwa kita adalah warga negara Indonesia, malu’kah kita bila memang benar kita adalah anak bangsa Indonesia, malu’kah kita bila kita mencintai Indonesia yang kaya akan segala yang terkandung didalam perut Ibu Pertiwi yang selama ini membesarkan kita, atau malu’kah kita bila mengakui bangsa kita merupakan rakyat yang ramah dengan segala keluguannya. Tidak!!! Kita sebagai bagian dari Indonesia mengapa kita harus malu akan negara kita sendiri, negara yang sekian abad lamanya diperjuangkan oleh pejuang-pejuang yang menumpahkan darah dan nyawa mereka hanya demi memberikan kebebasan bagi anak cucunya sebagai bangsa penerus cita-cita dan keinginan mereka dimasa yang akan datang sekarang ini.
Sepatutnya kita malu akan segala apa yang telah kita perbuat sekarang untuk bangsa ini. Saat ini kita bisa dengan bebas menghirup udara kebebasan hasil dari darah nenek moyang kita, kita bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya tanpa ada larangan atau peraturan seperti pada jaman penjajahan yang pernah terjadi di masa bangsa ini di jajah oleh kekuatan asing. Hanya bagi darah bangsawan yang boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Namun dengan segala yang kita dapatkan, apa yang mampu kita berikan? apa yang telah kita persembahkan untuk menjaga keberlangsungan bangsa ini? Tidak ada satu pun dapat kita berikan untuk bangsa ini! selain malah menghancur luluh lantahkan tanah air Indonesia ini sendiri. Seberapa luas tanah Indonesia ini yang telah diperkosa oleh tangan-tangan kotor perusak penerus bangsa.
Apa yang bisa kita persembahkan bagi bangsa ini bila saat keadaan yang semakin suram menyelubungi masa depan bangsa ini? Apakah kita hanya akan berdiam tanpa ada tindakkan yang kita berikan! Apakah kita hanya pintar berkomentar tanpa ada gerakan untuk merubahnya! apakah kita hanya dapat berunjuk rasa menyuarakan keinginan kita tanpa berusaha meyakinkan dari apa yang kita suarakan!
Lalu bagaimana dengan setiap mereka yang duduk nyaman di bangku kebanggaan mereka, sementara tepat diluar sana di tengah-tengah rakyatnya sedang kesulitan, apakah mereka hanya berpura-pura tak melihat dan tak mendengar atas segalanya itu, apakah mereka hanya pintar menarik perhatian dan simpatik rakyat demi jabatan mereka dan melupakan segala mulut bulusnya akan tugas mereka sebagai penyuara hati rakyat, saat tunggirnya telah merasakan kenyamanan kursi dan sejuknya ruangan yang memanjakan, sampai terlelap dalam mimpi indah saat Presiden yang sedang membicarakan kepentingan rakyatnya. Apa ini yang disebut reformasi menuju Indonesia Baru. Tidak!!! Ini namanya “REFORMASI MENUJU KEHANCURAN”.
Semenjak tahun 1997 saat Indonesia mengalami peristiwa yang disebut dengan krisis moneter dimana inflasi harga rupiah di pasar dunia menurun dan bahan pokok yang merupakan bahan kebutuhan sehari-hari pun ikut menjulang tinggi. Bangsa ini mulai goyang dalam segala aktivitasnya. Banyak perusahaan yang mulai gulung tikar karena kehilangan dana pembiayaan operasionalnya karena dampak krisis moneter ini. Tahun 1998 hingga saat ini, Indonesia diberi cobaan yang berat dalam segala segi kepemerintahan.
Rakyat yang dahulu lugu dan dikenal akan keramah tamahannya hanya tinggal beberapa persen dari jumlah seluruhnya. Yang masih tetap berpegang teguh pendirian akan adat istiadatnya hanya mereka yang sungguh menghargai bangsa ini. Namun mereka yang merasa dirinya benar selalu berkelakuan sombong dan menginjak hak dan martabat bangsanya sendiri.
Berlomba-lomba memenangkan dirinya dan memuaskan segala nafsu dunia akan kekuasaan dan harga diri tanpa memikirkan kepentingan rakyat kecil yang memilihnya, hingga mereka dapat meraih nikmat dan hidup senang menerima segala kenyamanannya hingga saat ini. Sedangkan rakyat hanya menunggu janji yang tak pernah kunjung datang seperti apa yang dijanjikan sebelumnya. Semuanya seakan kata dan janji busuk para mereka penikmat dunia.
“Tong kosong nyaring bunyinya” begitu’lah kira-kira pribahasa yang cocok mengambarkan sifat mereka yang berhati bulus. Memang tak seluruh dari mereka yang berjuang untuk dirinya sendiri, ada beberapa dari mereka yang dengan tulus memperjuangkan teriakan rakyat kecil, hanya saja ruang gerak mereka terbatas dari segala segi, ketidakmampuan mereka mungkin dikarenakan dari berbagai aspek yang menekan mereka, seperti hal yang terjadi pada salah satu aktivis yang jujur yang dalam langkahnya memperjuangkan suara rakyat, Munir. Meninggal dengan sejuta tanda tanya, seseorang disana menginginkan mulutnya terbungkam untuk selamanya. Mungkin Munir telah membongkar kebusukannya atau permainan licik atas segala tindakan yang merugikan untuk negara ini. Hingga akhirnya Munir pun dijadikan sasaran keji mereka para lintah bangsa.
Dalam politik hal seperti ini memang kerap terjadi di kalangan petinggi negara, semua yang bicara adalah materiil. Siapa yang lebih kaya maka dia’lah yang dianggap sebagai pemenang, sedangkan mereka para penyuara rakyat hanya kalah dan terinjak-injak. Segalanya memang sangat mungkin terjadi dimana saja. Tak hanya di atas sana yang saling menjatuhkan demi merebut kursi jabatan. Di tengah-tengah kebisingan Ibukota Jakarta pun tak jauh beda.
Bersama berjalannya waktu, rakyat yang dulu hanya mengangguk patuh dengan segala hal dan sopan dalam segala prilaku, kini berubah seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern. Mungkin juga karena sudah terlalu kenyang lapar jiwanya yang hanya menerima janji-janji dari orang yang picik hatinya. mereka (rakyat) berangsur menyadari atas segala kebohongan mereka karena selama ini hanya mengangguk dan terima segala kebohongan yang disuguhkan. Saat membutuhkan dukungan suara dalam pemilihan dari berbagai kampanye, rakyat dielus-elus demi mendapat dukungan suara, namun saat kampanye selesai maka selesai pula sandiwara yang dimainkan saat kampanye. Satu persatu janji hilang dan dilupakan begitu saja. Tanpa ada rasa salah sedikitpun mereka melupakan segala janji yang mencuat dari mulut mereka. Mempermainkan rakyat yang telah memberi mereka makan, pakaian, serta hidup mewah yang berasal dari pajak sebagai pendapatan pemerintah setiap tahunnya.
Beragam musibah dan peristiwa yang terjadi silih berganti menimpa dan menhujani bangsa ini terus menerus hingga akhirnya bangsa ini menjadi liar tak terkendali. Satu persatu rakyat mulai bergerak dari diamnya. Tak ingin merasa dilecehkan seperti sedia kala, merasa tak ingin di bohongi lagi dari segala janji manis yang berujung kekecewaan. Kini rakyat tak hanya berani berkomentar namun rakyat lebih berani dalam melakukan segala hal yang mungkin menyinggung hati mereka.
Apakah semua kejadian yang terjadi di negara ini merupakan sifat dari anak bangsa yang dulu pernah dibanggakan oleh negara lain, atau semua ini karena anak bangsa yang kian hari terlalu sering menghirup racun yang terbawa oleh orang asing yang sengaja menjatuhkan bangsa ini didalam keterpurukkan hingga perlahan semakin hilang moral dan martabatnya kepada bangsa dan negaranya.
Bangsa Indonesia merupakan negara yang kayaraya akan hasil alamnya, yang pernah dikatakan bahwa kekayaan bangsa Indonesia tidak akan habis-habisnya digunakan hingga keturunannya. Segala hasil bumi dan bahan tambang terkandung melimpah di tanah Ibu pertiwi Indonesia ini, namun pertanyaannya adalah apakah dari segala hasil kekayaan bangsa ini dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa Indonesia, Tidak! Yang merasakan nikmatnya hanya mereka yang berlidah manis dengan kepintarannya memikat hati orang orang yang suka disanjung akan kehebatannya. Sedangkan rakyat hanya dapat melihat dan mengagumi segala hasil itu tanpa bisa berbaur. Mereka yang merasa dirinya hebat selalu menyeringai sombong terhadap rakyat yang berada di bawahnya, hingga bila kita perhatikan di tengah bisingnya ibukota Jakarta ini, begitu banyaknya pengemis yang mengais rasa kasihan atas lembaran rupiah yang kusam di balik saku celana kita. Mereka berjuang dibawah teriknya matahari yang menyengat diantara bisingnya lalu lintas kepadatan kota Jakarta yang kejam, di tengah deru debu yang keluar dari asap knalpot kendaraan roda dua dan roda empat.
Segalanya mereka lakukan hanya demi secuil rejeki yang tak pernah dapat ditakar. Terkadang mereka tak jarang harus menahan lapar yang mengeragoti perut mereka berhari-hari hingga mendapatkan selembaran rupiah untuk membeli secuil makanan penganjal perut mereka telah lapar berhari-hari lalu.
Bisa kita lihat hingga sekarang ini, hampir disetiap sudut lampu merah kota Jakarta di bawah tiang lampu lalu lintas. Anak-anak kecil yang masih mengenahkan seragam putih merah rela berpanas-panasan membantu orang tua mereka yang juga berada bersama mereka. Tak lain adalah menjadi pengemis sepulang sekolah mereka, ada yang menggamen (menyanyikan beragam lagu di dalam kendaraan umum atau di mobil-mobil pribadi yang tengah berhenti di lampu merah), ada pula yang membawa kain pembersih. Menawarkan jasa membersihkan kaca jendela mobil dengan upah seikhlasnya, namun tak jarang pula mereka hanya menerima pandangan sinis dari pemilik mobil yang takut cat mobil mahalnya lecet atau tergores karena di senderi (menempelkan badan ke sebuah bidang) oleh mereka yang mencoba membersihkan kaca jendela atau juga hanya berupa bahasa tangan yang mengusir mereka. Mungkin dari sekian banyak mobil yang mereka datangi hanya satu sampai dua kendaraan saja yang menghargai mereka sebagai manusia yang sama derajatnya di mata Tuhan Yang Maha Esa.
Semua ini bukanlah keinginan mereka. Mereka tak dapat memilih atas nasib yang mereka jalani. Mereka juga berkeinginan yang sama seperti kita, sebagai bagian dari bangsa ini. Bisa hidup tentram dan berpendidikan tinggi seperti layaknya anak-anak lain yang sedang senang-senangnya di masa kanak-kanaknya. Berlari kesana kemari, tertawa lepas bersama teman-teman sebayanya. Mereka juga manusia yang bercita-cita tinggi, yang berkeinginan seperti yang kita inginkan, hanya saja mereka berada dalam garis nasib yang berbeda dengan orang lain yang hidup serba berkecukupan.
Tak jauh berbeda juga dengan anak-anak kecil yang berseragam merah putih hilir mulir di antara mobil-mobil pribadi sambil mengulurkan kedua tangannya yang kotor hitam bercampur keringat dan kotornya debu jalanan. Ini bukan profesi mereka, ini hanya sekedar membantu beban orang tuanya yang mencari nafkah untuk anggota keluarganya. Tak jarang mereka juga terpaksa menunda segala kebutuhan mereka disekolah karena terbatasnya biaya. Ada pula teman-teman mereka yang terpaksa berhenti sekolah dan memupuskan segala cita-cita mereka. Segala cita-cita yang sempat terlintas, namun mereka secara perlahan sadar akan keterbatasan dan kemampuan keluarga mereka.
Tak jarang anak-anak yang putus sekolah karena tak mampu atas biaya sekolah. Memang pemerintah selalu mencanangkan wajib belajar “sembilan tahun”, biaya sekolah gratis bagi keluarga yang memiliki kartu keluarga miskin, biaya buku pelajaran gratis sering. Tak jarang acap kali sering kita suka saksikan program iklan yang pemerintah keluarkan tentang pendidikan gratis bagi mereka yang kurang mampu. Kenyataannya memang mungkin pemerintah memberikan santunan biaya kepada masyarakatnya, namun sayangnya pemerintah kita kurang mampu mengawasi dana biaya yang disalurkan itu berjalan. Tak seperti yang kita bayangkan dalam jalur penyampaian dana santunan itu. Dana yang dikeluarkan pemerintah dapat berupa sekian juta saja sampai pada tujuan padahal dana yang dianggarkan bisa sepuluh kali lipat dari yang sampai. Semua itu dikarenakan bangsa ini sudah terkena sebuah penyakit yang mengakar. Tak segan-segan mereka yang rakus melahap semua dana santunan yang seharusnya mereka berikan kepada keluarga yang tak mampu.
Tak segan-segan tanpa ada rasa malu mereka merampas hak orang miskin yang tak mampu yang lebih membutuhkannya.
Bangsa ini semakin terpuruk moralnya. Kesalahan siapakah ini semua? Siapa yang patut bertanggung jawab atas segalanya? Kita semua yang merasa sebagai anak bangsa dan bagian dari bangsa ini yang bertanggung jawab membenahi tata pemerintahan Indonesia yang telah bobrok dari tahun ke tahun.
*****